Malam ini, sebelum mulai casting di Teater Alir, saya bertemu dengan seorang pria berbaju hitam ketika saya sedang dalam perjalanan ke taman CD—tempat castingnya. Keadaan waktu itu memang gelap banget, tapi saya yakin binti percaya bahwa pria yang saya lihat itu adalah teman saya. Ciri-cirinya persis dimiliki teman saya—yang juga anggota teater alir, hanya dia terlihat sedikit lebih kurus. Karena udah lama nggak ketemu, saya ngerasa kangen banget dan ingin menyapa dia dengan ceria. Saya membentangkan tangan sambil berjalan ke arahnya (sok pingin meluk gitu deh), serta nggak lupa melemparkan senyum tiga jari saya yang norak. Hehe. Dia pun memandang saya dengan kaget kemudian tersenyum seprti bertemu teman yang sudah lama tak jumpa.
Setelah saya dekati dia, alamaaak... ternyata saya salah orang! Anjrit... malu gila!!!
Cowok itu nampak menahan senyum gak karuan melihat kelakuan aneh saya. Hiks. Sambil menanggung malu, saya pun berlalu dan langsung berlari ke arah teman-teman sesama anggota Alir. Teman saya, Didi, yang mengetahui kejadian itu, nggak henti-hentinya ngetawain saya.
Nah, nggak berapa lama kemudian, pertemuan Teater Alir pun dimulai. Kami duduk membentuk lingkaran. Saya melihat ada dua cowok yang berjalan ke arah kami. Rupanya mereka pendatang baru yang mau ikut casting Teater Alir. Kedua cowok itu memakai jaket hitam. Salah satu dari mereka adalah cowok yang saya kira teman saya tadi. Oke, anggaplah mereka adalah cowok A dan cowok B.
Cowok A terlihat masih menelepon, sementara cowok B datang dan bergabung dalam lingkaran kami. Cowok B duduk di sebelah saya. Kalo nggak salah, dia adalah orang yang saya kira teman saya tadi. Untuk mengklarifikasi kejadian memalukan itu, saya langsung bilang, “Eh, maaf ya yang tadi, saya salah orang. Saya kira kamu teman saya! Haha.”
Cowok itu cuma memandang saya bingung. Teman saya, Didi, pun langsung menyahut, “Bukan dia orangnya, Sa!!”
Alamaak... Duh Gusti, dudul bener saya, sampe salah orang 2x dalam semalam...!! x(
Little Feet
-Talisa Noor-
Tuesday, February 10, 2009
Wow, bikin iri!
Salah satu teman saya sesama anggota Teater Alir, Siska, adalah mahasiswa D-IV STAN. Kalo nggak salah, beliau 4 tahun lebih tua daripada saya. Perawakannya mungil, wajahnya imut, kulitnya putih.
Saya baru tahu, ternyata mbak Siska udah menikah.
Setelah casting Teater Alir usai, turun hujan deras. Makanya, kami nggak langsung pulang. Momen itu saya pergunakan untuk ngobrol dengan teman-teman, termasuk mbak Siska.
“Mbak, udah punya pacar?” tanya saya, iseng.
Mbak Siska menjawab dengan berbinar,”Wah, saya udah punya suami!”
Pembicaraan pun berlangsung seru. Saya, Didi, dan Erna berebut bertanya karena kami ingin tahu bagaimana rasanya menikah, apa bedanya dengan saat masih jomblo, kapan beliau menikah, apakah penempatan kerja bersamaan dengan suami, di mana penempatannya, bagaimana suasana daerah di sana, dan lain-lain.
Yang bikin saya terharu, mbak Siska menjawab begini ketika saya bertanya apa suka-duka menjalani pernikahan:
“Emm, nggak ada dukanya deh.” Jawabnya tersipu-sipu. Binar kebahagiaan terpancar di matanya. Aww...
Nggak lama kemudian, suami mbak Siska—yang juga mahasiswa D-IV—pun datang menjemputnya. Beliau membawakan istrinya jas hujan dan payung. Rumah mereka memang dekat dari kampus, jadi mereka pulang-pergi dengan berjalan kaki.
Mbak Siska pun pamit pulang. Ia berjalan di tengah hujan berdua dengan suaminya...
Huuw, so sweet...
Saya baru tahu, ternyata mbak Siska udah menikah.
Setelah casting Teater Alir usai, turun hujan deras. Makanya, kami nggak langsung pulang. Momen itu saya pergunakan untuk ngobrol dengan teman-teman, termasuk mbak Siska.
“Mbak, udah punya pacar?” tanya saya, iseng.
Mbak Siska menjawab dengan berbinar,”Wah, saya udah punya suami!”
Pembicaraan pun berlangsung seru. Saya, Didi, dan Erna berebut bertanya karena kami ingin tahu bagaimana rasanya menikah, apa bedanya dengan saat masih jomblo, kapan beliau menikah, apakah penempatan kerja bersamaan dengan suami, di mana penempatannya, bagaimana suasana daerah di sana, dan lain-lain.
Yang bikin saya terharu, mbak Siska menjawab begini ketika saya bertanya apa suka-duka menjalani pernikahan:
“Emm, nggak ada dukanya deh.” Jawabnya tersipu-sipu. Binar kebahagiaan terpancar di matanya. Aww...
Nggak lama kemudian, suami mbak Siska—yang juga mahasiswa D-IV—pun datang menjemputnya. Beliau membawakan istrinya jas hujan dan payung. Rumah mereka memang dekat dari kampus, jadi mereka pulang-pergi dengan berjalan kaki.
Mbak Siska pun pamit pulang. Ia berjalan di tengah hujan berdua dengan suaminya...
Huuw, so sweet...
Subscribe to:
Posts (Atom)